Wednesday 14 April 2010

UU NO. 25 TAHUN 2009: MUNGKINKAH MEWUJUDKAN PELAYANAN PUBLIK YANG BERKEADILAN?*

Oleh: Ucu Abdul Barri


Pelayanan Publik Prima, Pro Orang Kaya?

Pelayanan publik di negara kita disadari atau tidak saat ini masih mengalami stagnansi atau boleh dikatakan jalan di tempat. Hasil penelitian yang dilakukan Dwiyanto dkk (dalam Warsito Utomo, 2007: 128) menunjukan bahwa kinerja pelayanan birokrasi pada masa reformasi tidak banyak mengalami perubahan secara signifikan. Para aparatur negara atau birokrasi pemerintahan sebagai penyedia layanan masih tetap menunjukan derajat rendah pada akuntabilitas, responsivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Hal tersebut dibuktikan Dwiyanto dkk dalam perolehan data dari daerah Yogyakarta bahwa meskipun persentase masyarakat yang mengajukan keluhan sesudah reformasi lebih rendah dari pada sebelum reformasi (13.7% berbanding 44.4%), tetapi persentase masyarakat yang mengalami kekecewaan terhadap pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur negara atau birokrasi tetap tinggi (42.9% dan 69.1%).

Kebijakan pemerintah berupa UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik tentunya membawa angin segar sekaligus telah menjawab penantian atas kegelisahan publik yang selama ini dirasakan. Akan tetapi hal tersebut tentunya tidak serta merta dapat menghapus begitu saja rasa kekecewaan publik terhadap pelayanan yang diterima dari penyedia layanan yakni pemerintah. Publik didefinisikan sebagai warga negara yang berhak mendapatkan pelayanan secara prima dari pemerintah yang telah dipercaya sebagai penyelenggara urusan dan kepentingan bersama (Indiahono, 2009: 70).

Penyelenggaraan pelayanan kepada publik yang efisien, adil, responsif, dan akuntabel tentunya menjadi dambaan setiap warga masyarakat pengguna layanan. Bupati Jembrana I Gede Winasa (dalam Jembrana Online di akses 15 Februari 2010) mengungkapkan apapun bentuk pelayanan yang diberikan kepada masyarakat wajib memberikan keadilan dan tidak membebani rakyat. Tidak hanya rasa adil, pelayanan publik juga harus dikelola dengan transparan dan memiliki standar pelayanan yang jelas.

Salah satu fenomena atas sebuah ketidakadilan dalam playanan publik dapat terlihat dari layanan kereta api misalnya. Keberadaan kereta api sebagai salah satu media transportasi publik telah diakui memiliki peranan yang sangat penting. Dalam perkeretaapian, kenyamanan di lihat dari kelas penumpang. Kereta api memiliki tiga kelas dalam penempatan penumpangnya, yaitu kelas eksekutif, bisnis, dan ekonomi. Kenyamanan kelas eksekutif direpresentasikan dengan gerbong berpendingin ruangan, televisi, kursi yang bagus, toilet yang nyaman, pelayanan hidangan, dan lain-lain. Kenyamanan berkereta api lebih dipertanyakan pada kelas bisnis dan ekonomi. Gerbong yang kotor, keamanan dan fasilitas kereta api yang rusak merupakan keluhan yang sering dilontarkan para konsumen kelas bisnis dan terutama konsumen kelas ekonomi. Belum lagi soal buruknya kondisi kereta api kelas ekonomi yang tidak mampu memberikan kenyamanan bagi penumpang, sehingga tidak aneh jika muncul tindakan-tindakan kriminalitas di dalam kereta api. Kenyamanan dalam layanan kreta api tentunya tidak mutlak hanya milik penumpang kelas eksekutif. Semua penumpang berhak atas kenyamanan layanan yang telah disesuaikan dengan standar pelayanan.

Lain halnya dengan pelayanan kereta api, penulis terkadang merasa iri ketika melihat kendaraan yang berplat nomor “cantik”. Di Indonesia di kenal ada plat RI 1 untuk mobil dinas presiden, serta RI 2 untuk wakil presiden. Kemudian di daerah biasanya plat nomor 1 dimiliki oleh gubernur dan bupati atau walikota. Tidak hanya pejabat pemerintah, mobil dinas pejabat kampus pun ikut-ikutan menggunakan plat nomor “cantik” yang tentunya harus di beli dengan biaya yang cukup mahal harganya. Bahkan masyarakat umum pun ikut-ikutan latah menggunakan plat nomor yang nomornya dapat disesuaikan dengan selera atau keinginan si pemilik kendaraan dan tentunya nomor tersebut harus dibeli dengan biaya yang terbilang mahal harganya. Jadi ternyata memang di negara kita kepuasan dari sebuah pelayanan publik hanya dapat di peroleh bagi segelintir orang, sehingga nomor plat kendaraan pun pada akhirnya dapat dijadikan sebagai salah satu pengukur status sosial seseorang. Jika demikian permasalahannya, lantas dimanakah letak kesamaan hak dan persamaan perlakuan yang tidak diskriminatif dalam pelayanan publik saat ini? mampukah UU No. 25 Tahun 2009 mewujudkan pelayanan publik yang berkeadilan?


Tantangan dan Jawaban untuk Pelayanan Publik Prima

Permasalahan masyarakat sebagaimana Thoha (2005: 80) nyatakan sangatlah kompleks. Hal ini terkait dengan banyaknya kepentingan publik (public interest) yang harus diakomodir. Sementara itu, Holcombe (dalam Kumorotomo, 2005: 365) menyatakan bahwa kepentingan publik mempunyai peran yang sangat signifikan dalam sebuah negara. Pemerintah sebagai penyelenggara negara tentunya memiliki tugas untuk melayani kepentingan rakyatnya sebagai warga negara.

Warsito Utomo (2007: 129) mengungkapkan bahwa pemerintah atau birokrasi belum dengan sungguh dapat memahami fungsinya sebagai pelayan publik. Terkait dengan kebijakan publik (public policy), secara umum kebijakan publik diarahkan sebagai solusi atas permasalahan-permasalahan publik (public affairs) yang muncul dan berkembang dalam masyarakat. Pelayanan publik sebagai aktifitas pemerintah untuk mendistribusikan hak-hak asasi warga negara seharusnya memang tercenter kepada sebuah kepentingan publik. Organisasi publik seharusnya dipahami sebagai sebuah entitas yang berjasa untuk melayani kepentingan publik (Indiahono, 2006: 58).

Pemerintah dalam upaya memperbaiki kualitas layanan publik pada tahun 2009 telah mengalokasikan anggaran untuk mendukung berbagai prioritas reformasi birokrasi yakni sebesar Rp 774 miliar. Sedangkan untuk tahun 2010 ini pemerintah meningkatkan alokasi anggaran belanja pegawai menjadi Rp 161,7 triliun (aparaturnegara.bappenas.go.id di akses 10 Februari 2010). Dalam hal ini tentunya tidak ada tawar menawar lagi bagi publik untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas dan berkeadilan.

Diakui memang saat ini sudah ada regulasi yang sah tentang pelayanan publik. Namun demikian, dalam kenyataannya kebanyakan instrumen legal yang telah disahkan belum dapat sepenuhnya menjawab permasalahan yang ada. Bahkan kebanyakan instrumen legal hanyalah menjadi tumpukan dokumen yang belum dapat di implementasikan secara efektif. UU No. 25 Tahun 2009 menjadi pijakan baru dalam hal pelayanan publik di negara kita. Dalam pasal 3 disebutkan bahwa UU ini berasaskan pada kepentingan umum, adanya kepastian hukum, adanya kesamaan hak, adanya keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan dalam perlakuan atau tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan dan bertujuan agar batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, menjalankan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik dalam penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam mendapatkan penyelenggaraan pelayanan publik.

Bambang Wicaksono (dalam Spirit Publik, 2007: 107) memaparkan bahwa peraturan yang ada sering kali tidak mudah dipahami oleh warga pengguna yang sebagian besar berpendidikan rendah, sehingga banyak terjadi mis-komunikasi antara birokrasi dengan warga masyarakat pengguna layanan. Selain itu, Bambang juga menyebutkan hasil penelitian Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA) yang menunjukan bahwa kesulitan-kesulitan teknis seperti ini dialami oleh warga pengguna di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Tidak terkecuali dengan penulis sendiri. Penulis merasakan hal yang sama ketika harus mengurus surat pengesahan dari kelurahan dengan waktu yang tidak jelas (2 Februari 2009). Hal tersebut menjadi wajar ketika warga pengguna layanan masih merasakan kegelisahan atas sebuah jawaban pemerintah dalam menjawab permasalahan pelayanan publik melalui produk kebijakannya berupa UU No. 25 Tahun 2009. Rendahnya kualitas dan efektifitas pelayanan publik dengan disertai pelayanan yang terkesan pilih bulu tentunya dapat menimbulkan erosi kepercayaan dan sinisme warga terhadap pemerintah sebagai penyedia layanan.


Analisis UU No. 25 Tahun 2009

Penulis melakukan analisis SWOT terhadap UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Menurut Rangkuti analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman (dalam Nizar, 2009: 9). SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal Strengths dan Weackness serta lingkungan eksternal opportunities dan threats. Sehingga, analisis SWOT pada dasarnya merupakan perbandingan antara faktor internal kekuatan (strength) dan kelemahan (weackness) dengan faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats).

Kekuatan (strength) yang pertama dalam pasal 4 UU Pelayanan Publik menjamin kesamaan hak, kesamaan perlakuan atau tidak diskriminatif, kepastian hukum dan fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok yang rentan. Sehingga masyarakat tidak lagi merasa khawatir atau gelisah terhadap layanan yang hendak diberikan kepada warga masyarakat pengguna layanan. Kedua, dalam pasal 18 dan 19 tentang hak dan kewajiban masyarakat, masyarakat cenderung lebih diberdayakan untuk menikmati dan memanfaatkan pelayanan publik sebaik-baiknya sesuai hak dan kewajibannya. Ketiga, dalam pasal 35 diatur pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan melalui pengawasan internal dan eksternal. Sehingga dalam pelaksanaannya dapat mengarah pada pelayanan publik yang berkeadilan. Keempat, dalam pasal 46 semakin mempertegas fungsi dan peranan Ombudsman sebagai lembaga pengaduan untuk penyelesaian pengaduan masyarakat.

Kelemahan (weackness), budaya birokrasi pemerintahan kita yang masih bersifat patrilineal. Sehingga dapat mengakibatkan pemberian layanan memakan waktu yang lama. Hal ini sekaligus dapat menjadi ancaman (threats) bagi pemerintah sebagai penyedia layanan publik untuk keluar dari belenggu budaya birokrasi yang masih bersifat patrilineal.

Keberadaan Kabupaten Jembrana dan Sragen yang menjadi best practice yang banyak dijadikan acuan oleh berbagai daerah tentunya menjadi suatu peluang (opportunities) yang dapat dijadikan sebagai percontohan bagi daerah-daerah lain untuk melakukan perbaikan kualitas pelayanan publiknya. Sehingga inovasi-inovasi yang diterapkan di Jembrana dan Sragen dapat di ikuti oleh daerah-daerah lain dalam rangka mencapai pelayanan publik yang berkualitas dan berkeadilan.


Catatan Penting dalam Implementasi UU No. 25 Tahun 2009

Kepuasan dan kenyamanan atas sebuah layanan publik tentunya tidak mutlak hanya dapat dimiliki oleh segelintir orang saja. Penyelenggaraan pelayanan publik yang berkeadilan sudah menjadi dambaan dan harapan atas penantian warga masyarakat sebagai pengguna layanan. Sudah menjadi sebuah keharusan bagi para elit birokrasi dan aparatur pemerintah untuk terus menapaki proses belajar sosial yang mengarah pada kualitas layanan publik sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

Perumusan strategi yang efektif dalam menelaah UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik dapat dilakukan melalui analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (SWOT Analysis). Berangkat dari analysis tersebut, berikut penulis rekomendasikan beberapa saran. Pertama, mengingat budaya birokrasi pemerintahan kita yang masih bersifat patrilineal, pemerintah harus dapat membangun komitmen para pimpinan dari setiap lembaga birokrasi yang menyediakan layanan bagi masyarakat. Kedua, diperlukan adaya motivasi birokrasi dari pimpinan birokrasi untuk meningkatkan kinerja dalam penyelenggaraan layanan. Ketiga, menggunakan Community Control melalui kontrol optimal sebagai bentuk pengawasan yang memodelkan biaya pengadaan pelayanan secara just in time yang dapat diakomodasi melalui Citizen Charter atau Service Charter. Community Control penulis artikan sebagai kesatuan kelompok yang melakukan pengawasan secara bersama terhadap pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik yang di dalamnya terdapat multi stakeholders, terdiri dari tokoh masyarakat, LSM dan akademisi serta dari pihak birokrasi pemberi layanan yang secara langsung terlibat dalam pembuatan kontrak pelayanan. Sehingga diharapkan implementasi daripada UU No. 25 Tahun 2009 dapat mewujudkan pelayanan publik yang berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat pengguna layanan.


* Disampaikan dalam Seminar Nasional FORBI Universitas Indonesia 2010

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com