Thursday 28 January 2010

Wajah Muram Anak Jalanan di Kota Tasikmalaya


Mengemis Diantar Jemput


SORE itu langit Kota Tasikmalaya mendung dan siap untuk menurunkan tetes air hujan. Namun hal itu tidak menyurutkan niat seorang bocah lelaki untuk mengemis. Jam tiga sore, ia diantar oleh kakak perempuannya yang tunawicara ke trotoar Jl R.E. Martadinata, Kota Tasikmalaya. Di sanalah kini bocah itu mangkal "namprakeun" tangan kepada orang-orang yang lewat.

Namanya Ujang, begitu dia bilang jika ada yang menanyakan nama. Umurnya baru enam tahun. "Pa, sodaqohna...Pa," ujarnya sambil menengadahkan lengan kepada seorang lelaki muda yang lewat.

Perilaku Ujang dalam mengemis tampak seperti sudah terlatih. Wajahnya sengaja dibuat sedih dan suaranya pun sengaja dibuat memelas. Ujang mengaku belum satu minggu mengemis di sekitar Jl. R.E. Martadinata.

"Asalnya dimana?" tanya penulis. "Di ditu," jawabnya. Telunjuknya menunjuk ke arah Barat tapi entah tempat mana yang ia tunjuk.

Menurut Ujang, biasanya ia pulang malam hari. Kakaknya atau saudaranya yang lain yang menjemput.

"Uangnya dikemanakan?" Ujang menjawab, disetorkan kepada ayahnya, sebagian lagi ia gunakan untuk jajan.

Eksploitasi terhadap anak dengan menjadikannya pengemis memang tak hanya terjadi di kota besar. Di Kota Tasikmalaya yang budayanya relatif masih ramah pun sudah berlangsung. Ujang contohnya. Bocah itu sengaja dilemparkan ke trotoar agar mendapat penghasikan untuk menopang kehidupan keluarga.

Hal sama terjadi kepada Firman (11) yang juga mengemis di sekitar Jl. R.E Martadinata, Kota Tasikmalaya. Anak lelaki ini mengaku sudah mengemis selama lima tahun. Menurutnya, ia mulai mengemis akibat desakan ekonomi. "Kesadaran" untuk mencari uang tersebut muncul ketika ia tak kunjung disekolahkan.

Setiap hari Firman datang ke Jl. RE Martadinata sekitar jam satu siang dengan diantar oleh ayah tirinya yang menjadi tukang ojek di sekitar Sukalaya. Pulang sekitar jam 21.00 malam, juga dijemput oleh ayah tirinya.

Menurut Firman, ibu dan dua adiknya juga mengemis meskipun di daerah yang berbeda. Jika sedang ramai ia bisa mendapat uang sampai Rp. 20.000 namun jika sedang sepi ia hanya bisa mendapat sekitar Rp. 10.000,00.

Firman mengaku pernah terjaring razia Satpol PP sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Kendati demikian ia tidak pernah jera untuk turun kembali ke jalan. Selain Ujang dan Firman, kita yakin masih banyak anak lain yang dieksploitasi agar menjadi pengemis jalanan, baik oleh keluarganya maupun pihak lain. Dan untuk menuntaskannya, kita yakin razia bukanlah solusi penyelesaian. Pasalnya, pengemis dan anak jalanan merupakan penyakit sosial yang penyembuhannya perlu penanganan komprehensif, kontinyu dan manusiawi dengan melibatkan semua pihak, bukan hanya kekasaran dan kekerasan razia


http://harianpriangan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=395:wajah-muram-anak-jalanan-di-kota-tasikmalaya&catid=34:tasikmalaya&Itemid=76

Wednesday 27 January 2010

Sistem dan Kurikulum Pendidikan; Sebuah Jalan Buntu


Oleh : Ucu Abdul Barri

DISADARI atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang tanpa arah. Selama ini, banyak yang beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya sebatas formalitas saja. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dinaggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itulah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh praktisi pendidikan di lapangan, salah satu penyebab dari rendahnya efektifitas pengajaran di Indonesia adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan.


Saat ini sistem pendidikan nasional kita diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 serta PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian dijelaskan dalam Permendiknas RI. Di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritikan baik dari praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai pendidikan nasional yang tidak mempunyai arah yang jelas.

Dalam RENSTRA Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005–2009, pemerintah lebih menekankan pada manajemen dan kepemeimpinan bukan masalah pokok yaitu pengembangan anak Indonesia. Tidak hanya itu, saat ini pemerintah telah melakukan pelepasan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional yang dialihkan dari negara kepada masyarakat dengan mekanisme BHP (lihat UU BHP dan PP tentang SNP No.19/2005) yaitu adanya mekasnisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan Otonomi Pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Disana kita dapat melihat bagaimana tingkat keseriusan pemerintah terhadap peningkatan pendidikan dinegara kita.

Permasalahan lain yang mendukung suramnya wajah pendidikan kita yaitu adanya bongkar-pasang kurikulum pendidikan. Sistem pendidikan Nasional bukanlah milik Presiden, Menteri ataupun para elit Politik. Indonesia sudah beberapa kali melakukan bongkar-pasang kurikulum pendidikan. Mulai kurikulum 1984, 1989, 1994 dan terakhir adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) kemudian diganti lagi dengan KTSP. Semuanya dilakukan atas dasar guna peningkatan mutu pendidikan. Kurikulum adalah komponen penting dalam sebuah sistem pendidikan. Berhasil dan gagalnya dari suatu sistem pendidikan tentu sangat dipengaruhi oleh faktor tersebut.

Kurikulum pendidikan kita selama ini belum dapat memberikan ruang kreasi siswa. Model seperti ini Paulo Freire menyebutnya dengan banking concept of education atau pendidikan gaya bank, dimana pendidik hanya berperan sebagai penabung yang mendepositokan banyak informasi kepada siswa, tetapi tidak pernah membicarakannya untuk apa informasi itu harus dikuasai siswa.

Kawan. . .

Dunia mahasiswa adalah dunia penjelajahan intelektual. Edward Shill mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memliki tanggung jawab sosial yang khas.

Sebuah perubahan besar dimulai dari perubahan-perubahan kecil.

Apa yang ada di depan kita dan apa yang ada di belakang kita adalah hal terkecil dibanding dengan apa yang ada dalam diri kita.

Mari langkahkan kaki, bersama untuk berkontribusi.

Hidup mahasiswa....!!!!



[*] Mahasiswa FISIP Unsoed Jurusan Ilmu Administrasi Negara Angkatan 2007 (Tulisan ini sebagai salah satu konten OSPEK Fisip Unsoed 2009)

Template by : kendhin x-template.blogspot.com