Wednesday 14 April 2010

UU NO. 25 TAHUN 2009: MUNGKINKAH MEWUJUDKAN PELAYANAN PUBLIK YANG BERKEADILAN?*

Oleh: Ucu Abdul Barri


Pelayanan Publik Prima, Pro Orang Kaya?

Pelayanan publik di negara kita disadari atau tidak saat ini masih mengalami stagnansi atau boleh dikatakan jalan di tempat. Hasil penelitian yang dilakukan Dwiyanto dkk (dalam Warsito Utomo, 2007: 128) menunjukan bahwa kinerja pelayanan birokrasi pada masa reformasi tidak banyak mengalami perubahan secara signifikan. Para aparatur negara atau birokrasi pemerintahan sebagai penyedia layanan masih tetap menunjukan derajat rendah pada akuntabilitas, responsivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Hal tersebut dibuktikan Dwiyanto dkk dalam perolehan data dari daerah Yogyakarta bahwa meskipun persentase masyarakat yang mengajukan keluhan sesudah reformasi lebih rendah dari pada sebelum reformasi (13.7% berbanding 44.4%), tetapi persentase masyarakat yang mengalami kekecewaan terhadap pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur negara atau birokrasi tetap tinggi (42.9% dan 69.1%).

Kebijakan pemerintah berupa UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik tentunya membawa angin segar sekaligus telah menjawab penantian atas kegelisahan publik yang selama ini dirasakan. Akan tetapi hal tersebut tentunya tidak serta merta dapat menghapus begitu saja rasa kekecewaan publik terhadap pelayanan yang diterima dari penyedia layanan yakni pemerintah. Publik didefinisikan sebagai warga negara yang berhak mendapatkan pelayanan secara prima dari pemerintah yang telah dipercaya sebagai penyelenggara urusan dan kepentingan bersama (Indiahono, 2009: 70).

Penyelenggaraan pelayanan kepada publik yang efisien, adil, responsif, dan akuntabel tentunya menjadi dambaan setiap warga masyarakat pengguna layanan. Bupati Jembrana I Gede Winasa (dalam Jembrana Online di akses 15 Februari 2010) mengungkapkan apapun bentuk pelayanan yang diberikan kepada masyarakat wajib memberikan keadilan dan tidak membebani rakyat. Tidak hanya rasa adil, pelayanan publik juga harus dikelola dengan transparan dan memiliki standar pelayanan yang jelas.

Salah satu fenomena atas sebuah ketidakadilan dalam playanan publik dapat terlihat dari layanan kereta api misalnya. Keberadaan kereta api sebagai salah satu media transportasi publik telah diakui memiliki peranan yang sangat penting. Dalam perkeretaapian, kenyamanan di lihat dari kelas penumpang. Kereta api memiliki tiga kelas dalam penempatan penumpangnya, yaitu kelas eksekutif, bisnis, dan ekonomi. Kenyamanan kelas eksekutif direpresentasikan dengan gerbong berpendingin ruangan, televisi, kursi yang bagus, toilet yang nyaman, pelayanan hidangan, dan lain-lain. Kenyamanan berkereta api lebih dipertanyakan pada kelas bisnis dan ekonomi. Gerbong yang kotor, keamanan dan fasilitas kereta api yang rusak merupakan keluhan yang sering dilontarkan para konsumen kelas bisnis dan terutama konsumen kelas ekonomi. Belum lagi soal buruknya kondisi kereta api kelas ekonomi yang tidak mampu memberikan kenyamanan bagi penumpang, sehingga tidak aneh jika muncul tindakan-tindakan kriminalitas di dalam kereta api. Kenyamanan dalam layanan kreta api tentunya tidak mutlak hanya milik penumpang kelas eksekutif. Semua penumpang berhak atas kenyamanan layanan yang telah disesuaikan dengan standar pelayanan.

Lain halnya dengan pelayanan kereta api, penulis terkadang merasa iri ketika melihat kendaraan yang berplat nomor “cantik”. Di Indonesia di kenal ada plat RI 1 untuk mobil dinas presiden, serta RI 2 untuk wakil presiden. Kemudian di daerah biasanya plat nomor 1 dimiliki oleh gubernur dan bupati atau walikota. Tidak hanya pejabat pemerintah, mobil dinas pejabat kampus pun ikut-ikutan menggunakan plat nomor “cantik” yang tentunya harus di beli dengan biaya yang cukup mahal harganya. Bahkan masyarakat umum pun ikut-ikutan latah menggunakan plat nomor yang nomornya dapat disesuaikan dengan selera atau keinginan si pemilik kendaraan dan tentunya nomor tersebut harus dibeli dengan biaya yang terbilang mahal harganya. Jadi ternyata memang di negara kita kepuasan dari sebuah pelayanan publik hanya dapat di peroleh bagi segelintir orang, sehingga nomor plat kendaraan pun pada akhirnya dapat dijadikan sebagai salah satu pengukur status sosial seseorang. Jika demikian permasalahannya, lantas dimanakah letak kesamaan hak dan persamaan perlakuan yang tidak diskriminatif dalam pelayanan publik saat ini? mampukah UU No. 25 Tahun 2009 mewujudkan pelayanan publik yang berkeadilan?


Tantangan dan Jawaban untuk Pelayanan Publik Prima

Permasalahan masyarakat sebagaimana Thoha (2005: 80) nyatakan sangatlah kompleks. Hal ini terkait dengan banyaknya kepentingan publik (public interest) yang harus diakomodir. Sementara itu, Holcombe (dalam Kumorotomo, 2005: 365) menyatakan bahwa kepentingan publik mempunyai peran yang sangat signifikan dalam sebuah negara. Pemerintah sebagai penyelenggara negara tentunya memiliki tugas untuk melayani kepentingan rakyatnya sebagai warga negara.

Warsito Utomo (2007: 129) mengungkapkan bahwa pemerintah atau birokrasi belum dengan sungguh dapat memahami fungsinya sebagai pelayan publik. Terkait dengan kebijakan publik (public policy), secara umum kebijakan publik diarahkan sebagai solusi atas permasalahan-permasalahan publik (public affairs) yang muncul dan berkembang dalam masyarakat. Pelayanan publik sebagai aktifitas pemerintah untuk mendistribusikan hak-hak asasi warga negara seharusnya memang tercenter kepada sebuah kepentingan publik. Organisasi publik seharusnya dipahami sebagai sebuah entitas yang berjasa untuk melayani kepentingan publik (Indiahono, 2006: 58).

Pemerintah dalam upaya memperbaiki kualitas layanan publik pada tahun 2009 telah mengalokasikan anggaran untuk mendukung berbagai prioritas reformasi birokrasi yakni sebesar Rp 774 miliar. Sedangkan untuk tahun 2010 ini pemerintah meningkatkan alokasi anggaran belanja pegawai menjadi Rp 161,7 triliun (aparaturnegara.bappenas.go.id di akses 10 Februari 2010). Dalam hal ini tentunya tidak ada tawar menawar lagi bagi publik untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas dan berkeadilan.

Diakui memang saat ini sudah ada regulasi yang sah tentang pelayanan publik. Namun demikian, dalam kenyataannya kebanyakan instrumen legal yang telah disahkan belum dapat sepenuhnya menjawab permasalahan yang ada. Bahkan kebanyakan instrumen legal hanyalah menjadi tumpukan dokumen yang belum dapat di implementasikan secara efektif. UU No. 25 Tahun 2009 menjadi pijakan baru dalam hal pelayanan publik di negara kita. Dalam pasal 3 disebutkan bahwa UU ini berasaskan pada kepentingan umum, adanya kepastian hukum, adanya kesamaan hak, adanya keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan dalam perlakuan atau tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan dan bertujuan agar batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, menjalankan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik dalam penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam mendapatkan penyelenggaraan pelayanan publik.

Bambang Wicaksono (dalam Spirit Publik, 2007: 107) memaparkan bahwa peraturan yang ada sering kali tidak mudah dipahami oleh warga pengguna yang sebagian besar berpendidikan rendah, sehingga banyak terjadi mis-komunikasi antara birokrasi dengan warga masyarakat pengguna layanan. Selain itu, Bambang juga menyebutkan hasil penelitian Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA) yang menunjukan bahwa kesulitan-kesulitan teknis seperti ini dialami oleh warga pengguna di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Tidak terkecuali dengan penulis sendiri. Penulis merasakan hal yang sama ketika harus mengurus surat pengesahan dari kelurahan dengan waktu yang tidak jelas (2 Februari 2009). Hal tersebut menjadi wajar ketika warga pengguna layanan masih merasakan kegelisahan atas sebuah jawaban pemerintah dalam menjawab permasalahan pelayanan publik melalui produk kebijakannya berupa UU No. 25 Tahun 2009. Rendahnya kualitas dan efektifitas pelayanan publik dengan disertai pelayanan yang terkesan pilih bulu tentunya dapat menimbulkan erosi kepercayaan dan sinisme warga terhadap pemerintah sebagai penyedia layanan.


Analisis UU No. 25 Tahun 2009

Penulis melakukan analisis SWOT terhadap UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Menurut Rangkuti analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman (dalam Nizar, 2009: 9). SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal Strengths dan Weackness serta lingkungan eksternal opportunities dan threats. Sehingga, analisis SWOT pada dasarnya merupakan perbandingan antara faktor internal kekuatan (strength) dan kelemahan (weackness) dengan faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats).

Kekuatan (strength) yang pertama dalam pasal 4 UU Pelayanan Publik menjamin kesamaan hak, kesamaan perlakuan atau tidak diskriminatif, kepastian hukum dan fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok yang rentan. Sehingga masyarakat tidak lagi merasa khawatir atau gelisah terhadap layanan yang hendak diberikan kepada warga masyarakat pengguna layanan. Kedua, dalam pasal 18 dan 19 tentang hak dan kewajiban masyarakat, masyarakat cenderung lebih diberdayakan untuk menikmati dan memanfaatkan pelayanan publik sebaik-baiknya sesuai hak dan kewajibannya. Ketiga, dalam pasal 35 diatur pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan melalui pengawasan internal dan eksternal. Sehingga dalam pelaksanaannya dapat mengarah pada pelayanan publik yang berkeadilan. Keempat, dalam pasal 46 semakin mempertegas fungsi dan peranan Ombudsman sebagai lembaga pengaduan untuk penyelesaian pengaduan masyarakat.

Kelemahan (weackness), budaya birokrasi pemerintahan kita yang masih bersifat patrilineal. Sehingga dapat mengakibatkan pemberian layanan memakan waktu yang lama. Hal ini sekaligus dapat menjadi ancaman (threats) bagi pemerintah sebagai penyedia layanan publik untuk keluar dari belenggu budaya birokrasi yang masih bersifat patrilineal.

Keberadaan Kabupaten Jembrana dan Sragen yang menjadi best practice yang banyak dijadikan acuan oleh berbagai daerah tentunya menjadi suatu peluang (opportunities) yang dapat dijadikan sebagai percontohan bagi daerah-daerah lain untuk melakukan perbaikan kualitas pelayanan publiknya. Sehingga inovasi-inovasi yang diterapkan di Jembrana dan Sragen dapat di ikuti oleh daerah-daerah lain dalam rangka mencapai pelayanan publik yang berkualitas dan berkeadilan.


Catatan Penting dalam Implementasi UU No. 25 Tahun 2009

Kepuasan dan kenyamanan atas sebuah layanan publik tentunya tidak mutlak hanya dapat dimiliki oleh segelintir orang saja. Penyelenggaraan pelayanan publik yang berkeadilan sudah menjadi dambaan dan harapan atas penantian warga masyarakat sebagai pengguna layanan. Sudah menjadi sebuah keharusan bagi para elit birokrasi dan aparatur pemerintah untuk terus menapaki proses belajar sosial yang mengarah pada kualitas layanan publik sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

Perumusan strategi yang efektif dalam menelaah UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik dapat dilakukan melalui analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (SWOT Analysis). Berangkat dari analysis tersebut, berikut penulis rekomendasikan beberapa saran. Pertama, mengingat budaya birokrasi pemerintahan kita yang masih bersifat patrilineal, pemerintah harus dapat membangun komitmen para pimpinan dari setiap lembaga birokrasi yang menyediakan layanan bagi masyarakat. Kedua, diperlukan adaya motivasi birokrasi dari pimpinan birokrasi untuk meningkatkan kinerja dalam penyelenggaraan layanan. Ketiga, menggunakan Community Control melalui kontrol optimal sebagai bentuk pengawasan yang memodelkan biaya pengadaan pelayanan secara just in time yang dapat diakomodasi melalui Citizen Charter atau Service Charter. Community Control penulis artikan sebagai kesatuan kelompok yang melakukan pengawasan secara bersama terhadap pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik yang di dalamnya terdapat multi stakeholders, terdiri dari tokoh masyarakat, LSM dan akademisi serta dari pihak birokrasi pemberi layanan yang secara langsung terlibat dalam pembuatan kontrak pelayanan. Sehingga diharapkan implementasi daripada UU No. 25 Tahun 2009 dapat mewujudkan pelayanan publik yang berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat pengguna layanan.


* Disampaikan dalam Seminar Nasional FORBI Universitas Indonesia 2010

Sunday 21 February 2010

Dealine Pengumpulan PKM-GT & AI di undur 31 Maret 2010


Kesempatan Berkarya


Berkenaan dengan surat Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Ditjen Diktinomor: 2026/D3/KM/2009 tanggal 4 Desember 2009 perihal penerimaan proposal PKM-AI dan PKM-GT tahun 2010.Dengan hormat kami sampaikan ralat batas akhir pengajuan proposal PKM-AI dan PKM-GT,yang semula tanggal 10 Maret 2010, diperpanjang sampai dengan tanggal 31 Maret 2010 pukul 16.00 WIB sudah diterima di DP2M.


Biasanya kita harus mengumpulkan di administrasi pusat Unsoed H-10 untuk di proses dan di serahkan ke Dikti. Jadi diusahakan 20 Maret sudah beres. Ayo teman-teman HMJ-AN, FISIP, UKMPR, semua mahasiswa Unsoed SEMANGAT...!!!


Download panduan di http://dp2m.dikti.go.id/data/pkm2010_REVISI02.pdf



Tuesday 9 February 2010

Mengenal Budaya Valentine’s Day bagi “Kita”


Oleh: Ucu Abdul Barri

Bulan februari ini ternyata banyak yang ditungu-tunggu bagi sebagian orang. Kenapa tidak, ternyata disini ada momen yang biasa para anak muda gaol bilang Valentine's Day. Tapi anehnya ketika ditanya valentine itu apa? tidak sedikit orang yang menggelengkan kepalanya. Lantas valentine sih opo?? dan ternyata valentine itu nama orang. Ya, betul betul betul, Valentine adalah seorang bishop (mentri) di Terni, suatu tempat kira-kira 60 mil dari Roma. Dia mendapat hukuman Pancungan oleh penguasa Roma. Sungguh merupakan kisah tragis pada saat itu. Ia dipancung karena konon kabarnya gara-gara ia memasukan sebuah keluarga Romawi ke dalam agama Kristen. Itu terjadi sekitar tahun 273 Masehi. Dalam perkembangannya, peristiwa tersebut lalu dikaitkan dengan gebyar Valentine’s Day.

Ajaibnya, hajatan Valentine’s Day yang digarap anak-anak muda kontemporer sekarang ini rada-rada nggak nyambung (alias Jaka Sembung bawa golok) dengan latar belakang sejarahnya. Bukannya memperingati “jasa-jasa” sang rahib, tapi malah diisi dengan kegiatan curhat dan kasih sayang. Tapi apa mau dikata, kegiatan rutin tahunan Valentine’s Day sudah kepalang dinobatkan sebagai hari kasih sayang diseluruh dunia. Termasuk kita jadi latah ikut heboh setiap tanggal 14 februari. Padahal, Valentine’s day punya latar belakang peristiwa yang bukan berasal dari Islam. So, bahkan dalam versi lain, disebutkan bahwa pada awalnya orang-orang Romawi merayakan hari besar mereka yang jatuh pada tanggal 15 Februari yang diberi nama Lupercalia.

Peringatan ini adalah sebagai penghormatan kepada Juno (Tuhan Wanita dan Per-kawinan) dan Pan ( Tuhan dari alam ini). Seiring dengan berjalannya waktu, pihak gereja yang waktu itu agama Kristen mulai menyebar di Romawi dan memindahkan upacara penghormatan terhadap berhala itu menjadi tanggal 14 Februari. Dan dibelokkan tujuannya, bukan lagi menghormati berhala, tapi menghormati seorang pendeta Kristen yang tewas dihukum mati. Namun acaranya pun bukan lagi Lupercalia, tapi Saint Valentine.

Berarti yang ikut-ikutan dalam hajatan Valentine’s Day itu ternyata merayakan peringatan yang bukan dari Islam. Nggak tahu, apa nggak mau tahu???

Melihat akar sejarahnya, kita nggak bisa membantah kalau acara Valentinan itu nggak ada sangkut pautnya dengan ajaran Islam. Yang sudah nyata, adalah tanpa sadar kita jadi latah ikutan acara ini. Padahal, budaya itu nggak mirip-mirip amat dengan way of life-nya Islam. Terlebih Al-Qur’an sangat “cerewet” menyikapi masalah ini. Budaya Valentine’s Day itu memang berasal dari Way of life-nya akidah lain, yakni budaya orang barat yang berakidah sekuler. Maka, disinilah wajib bagi kita untuk gaul juga soal hukum-hukum Islam. Seperti “berkasih sayang” versi Valentine’s Day ini wajib kita tahu hukumnya.

Rasulullah saw. pun angkat bicara, beliau melarang kita untuk menyerupai (tasyabbuh) ajaran suatu kaum. “siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kedalamnya,” sabda baginda Nabi saw. Nah, termasuk yang dijadikan bahasan hadits itu adalah ikut merayakan hari raya orang-orang diluar Islam, diantaranya Valentine’s Day.

Sebagai seorang remaja muslim yang beriman kepada Allah, tentunya kualitas keimanan ini harus senantiasa terus dipupuk dalam rangka menuju perbaikan diri agar hamba yang hina ini terjauh dari hal-lah yang dibenci-NYA. Pamungkas semoga kita semua senantiasa selalu berada dalam lindungan-NYA. Amiiin....

Monday 1 February 2010

Antara Realitas Politik dan Semangat Pergerakan Mahasiswa


Oleh: Ucu Abdul Barri

Mahasiswa dalam sejarah peradaban bangsa Indonesia adalah orang-orang yang penuh dengan pemikiran visioner dan menjadi referensi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi . Hingga hari ini mahasiswa masih dianggap sebagai kaum terpelajar sebuah bangsa yang dapat merombakhancurkan sistem ketatanegaraan yang tirani dan menindas rakyat. Kita tidak ingin terbuai oleh romantisme sejarah masa lalu yang ditaburi oleh harumnya pengorbanan dan untaian mutiara pemikiran para pendahulu kita. Tetapi satu hal yang mesti diyakini bahwa ruh perjuangan itu akan senantiasa melekat pada diri kita dalam setiap zamannya.

Sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa pengulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani.

Gerakan mahasiswa merupakan gerakan moral kaum terdidik, apa yang dilakukannya sarat dengan muatan akademis. Masyarakat awam melihat gerakan mahasiswa sebagai suatu kebenaran. Muatan akademis yang dibawa kemudian dimanfaatkan oknum elite politik tertentu, untuk menjatuhkan lawan politik mereka . Ini tentunya tidak terlepas dari deal-deal politik yang dilakukan oknum elite politik dan oknum elite pada tataran mahasiswa. Tarik-menarik kepentingan politik di tingkat nasional telah membawa gerakan mahasiswa untuk meramaikan konstelasi politik nasional, padahal gerakan mahasiswa bebas nilai terhadap kekuasaan. Hal ini akan menjadi preseden buruk bagi kelangsungan gerakan kini dan masa mendatang, bagaimana mungkin mahasiswa dapat mengonsolidasikan gerakannya jika sebagian dari mereka telah terjual idelismenya. Untuk itu, tidak salah kiranya jika pertanyaan seputar bagaimana seharusnya gerakan mahasiswa dan pada wilayah apa batas pergerakannya masih tetap relevan untuk dikedepankan. Ini sebagai upaya menjaga garis kemurnian perjuangan gerakan mahasiswa.

Mau tidak mau dan suka tidak suka, gerakan mahasiswa harus berani untuk memutus hubungan dengan oknum elite politik yang memanfaatkannya sebagai senjata politiknya. Bagaimana caranya? Hal itu hanya bisa dijawab oleh para pelaku gerakan. Pastinya, diperlukan keberanian dari gerakan mahasiswa untuk segera menarik diri dari lingkaran politik kekuasaan yang cenderung elitis, lalu menata gerakan mahasiswa kearah gerakan berbasis kultural, sebagai salah satu pengamalan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Sebuah perubahan besar dimulai dari hal-hal yang kecil. Untuk itulah kita mesti meyakini bahwa ruh perjuangan dan semangat pengorbanan yang melekat pada diri mahasiswa akan menjadi sebuah karya nyata hari ini dan esok.

Untuk sebuah perubahan. . . HIDUP MAHASISWA !!!!

Thursday 28 January 2010

Wajah Muram Anak Jalanan di Kota Tasikmalaya


Mengemis Diantar Jemput


SORE itu langit Kota Tasikmalaya mendung dan siap untuk menurunkan tetes air hujan. Namun hal itu tidak menyurutkan niat seorang bocah lelaki untuk mengemis. Jam tiga sore, ia diantar oleh kakak perempuannya yang tunawicara ke trotoar Jl R.E. Martadinata, Kota Tasikmalaya. Di sanalah kini bocah itu mangkal "namprakeun" tangan kepada orang-orang yang lewat.

Namanya Ujang, begitu dia bilang jika ada yang menanyakan nama. Umurnya baru enam tahun. "Pa, sodaqohna...Pa," ujarnya sambil menengadahkan lengan kepada seorang lelaki muda yang lewat.

Perilaku Ujang dalam mengemis tampak seperti sudah terlatih. Wajahnya sengaja dibuat sedih dan suaranya pun sengaja dibuat memelas. Ujang mengaku belum satu minggu mengemis di sekitar Jl. R.E. Martadinata.

"Asalnya dimana?" tanya penulis. "Di ditu," jawabnya. Telunjuknya menunjuk ke arah Barat tapi entah tempat mana yang ia tunjuk.

Menurut Ujang, biasanya ia pulang malam hari. Kakaknya atau saudaranya yang lain yang menjemput.

"Uangnya dikemanakan?" Ujang menjawab, disetorkan kepada ayahnya, sebagian lagi ia gunakan untuk jajan.

Eksploitasi terhadap anak dengan menjadikannya pengemis memang tak hanya terjadi di kota besar. Di Kota Tasikmalaya yang budayanya relatif masih ramah pun sudah berlangsung. Ujang contohnya. Bocah itu sengaja dilemparkan ke trotoar agar mendapat penghasikan untuk menopang kehidupan keluarga.

Hal sama terjadi kepada Firman (11) yang juga mengemis di sekitar Jl. R.E Martadinata, Kota Tasikmalaya. Anak lelaki ini mengaku sudah mengemis selama lima tahun. Menurutnya, ia mulai mengemis akibat desakan ekonomi. "Kesadaran" untuk mencari uang tersebut muncul ketika ia tak kunjung disekolahkan.

Setiap hari Firman datang ke Jl. RE Martadinata sekitar jam satu siang dengan diantar oleh ayah tirinya yang menjadi tukang ojek di sekitar Sukalaya. Pulang sekitar jam 21.00 malam, juga dijemput oleh ayah tirinya.

Menurut Firman, ibu dan dua adiknya juga mengemis meskipun di daerah yang berbeda. Jika sedang ramai ia bisa mendapat uang sampai Rp. 20.000 namun jika sedang sepi ia hanya bisa mendapat sekitar Rp. 10.000,00.

Firman mengaku pernah terjaring razia Satpol PP sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Kendati demikian ia tidak pernah jera untuk turun kembali ke jalan. Selain Ujang dan Firman, kita yakin masih banyak anak lain yang dieksploitasi agar menjadi pengemis jalanan, baik oleh keluarganya maupun pihak lain. Dan untuk menuntaskannya, kita yakin razia bukanlah solusi penyelesaian. Pasalnya, pengemis dan anak jalanan merupakan penyakit sosial yang penyembuhannya perlu penanganan komprehensif, kontinyu dan manusiawi dengan melibatkan semua pihak, bukan hanya kekasaran dan kekerasan razia


http://harianpriangan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=395:wajah-muram-anak-jalanan-di-kota-tasikmalaya&catid=34:tasikmalaya&Itemid=76

Wednesday 27 January 2010

Sistem dan Kurikulum Pendidikan; Sebuah Jalan Buntu


Oleh : Ucu Abdul Barri

DISADARI atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang tanpa arah. Selama ini, banyak yang beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya sebatas formalitas saja. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dinaggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itulah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh praktisi pendidikan di lapangan, salah satu penyebab dari rendahnya efektifitas pengajaran di Indonesia adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan.


Saat ini sistem pendidikan nasional kita diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 serta PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian dijelaskan dalam Permendiknas RI. Di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritikan baik dari praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai pendidikan nasional yang tidak mempunyai arah yang jelas.

Dalam RENSTRA Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005–2009, pemerintah lebih menekankan pada manajemen dan kepemeimpinan bukan masalah pokok yaitu pengembangan anak Indonesia. Tidak hanya itu, saat ini pemerintah telah melakukan pelepasan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional yang dialihkan dari negara kepada masyarakat dengan mekanisme BHP (lihat UU BHP dan PP tentang SNP No.19/2005) yaitu adanya mekasnisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan Otonomi Pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Disana kita dapat melihat bagaimana tingkat keseriusan pemerintah terhadap peningkatan pendidikan dinegara kita.

Permasalahan lain yang mendukung suramnya wajah pendidikan kita yaitu adanya bongkar-pasang kurikulum pendidikan. Sistem pendidikan Nasional bukanlah milik Presiden, Menteri ataupun para elit Politik. Indonesia sudah beberapa kali melakukan bongkar-pasang kurikulum pendidikan. Mulai kurikulum 1984, 1989, 1994 dan terakhir adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) kemudian diganti lagi dengan KTSP. Semuanya dilakukan atas dasar guna peningkatan mutu pendidikan. Kurikulum adalah komponen penting dalam sebuah sistem pendidikan. Berhasil dan gagalnya dari suatu sistem pendidikan tentu sangat dipengaruhi oleh faktor tersebut.

Kurikulum pendidikan kita selama ini belum dapat memberikan ruang kreasi siswa. Model seperti ini Paulo Freire menyebutnya dengan banking concept of education atau pendidikan gaya bank, dimana pendidik hanya berperan sebagai penabung yang mendepositokan banyak informasi kepada siswa, tetapi tidak pernah membicarakannya untuk apa informasi itu harus dikuasai siswa.

Kawan. . .

Dunia mahasiswa adalah dunia penjelajahan intelektual. Edward Shill mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memliki tanggung jawab sosial yang khas.

Sebuah perubahan besar dimulai dari perubahan-perubahan kecil.

Apa yang ada di depan kita dan apa yang ada di belakang kita adalah hal terkecil dibanding dengan apa yang ada dalam diri kita.

Mari langkahkan kaki, bersama untuk berkontribusi.

Hidup mahasiswa....!!!!



[*] Mahasiswa FISIP Unsoed Jurusan Ilmu Administrasi Negara Angkatan 2007 (Tulisan ini sebagai salah satu konten OSPEK Fisip Unsoed 2009)

Template by : kendhin x-template.blogspot.com